BID’AH MENURUT EMPAT IMAM MADZHAB
Kamis, 10 Januari 2013
BID’AH MENURUT EMPAT IMAM MADZHAB:
PENGERTIAN
BID’AH MENURUT EMPAT IMAM MADZHAB
Di
tulis dan di terjemahkan oleh: Anggota WLML
DEFINISI BID’AH
Oleh:
Syaikh. Prof. Dr. Ali Jum’ah (Mufti Republik Mesir)
إِنَّ أَصْدَقَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ، وَأَحْسَنَ
الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ، وَشَرُّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ مُحْدَثَةٍ
بِدْعَةٌ، وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ.
“Sesungguhnya ucapan yang paling benar adalah kitab Allah,
dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad SAW, dan seburuk-buruk
perkara adalah perkara baru, setiap perkara baru adalah bid’ah, dan setiap
bid’ah itu sesat dan setiap kesesatan itu tempatnya di neraka.” (HR. An-Nasa`i)
Hadits ini merupakan salah satu dari sekian banyak hadits
yang berbicara tentang bid’ah. Namun untuk memahami perkara bid’ah ini tidak
asal begitu saja kita pahami secara harfiah atau tekstual dari hadits tersebut,
sehingga siapapun menjadi mudah untuk mengklaim saudara-saudaranya semuslim
yang melakukan satu perkara yang tidak pernah dilakukan di zaman nabi SAW kita
anggap sebagai pelaku bid’ah yang sesat, dan jika ia sesat berarti tempatnya
dineraka. Agar tidak berkesan tergesa-gesa ada baiknya kita memahami terlebih
dahulu masalah ini melalui kajian-kajian dari para ulama salafush-shalih kita
yang telah terebih dahalu mengkajinya.
Definisi
Bid’ah
Untuk mengetahui pengertian bid’ah yang benar maka kita
harus terlebih dahulu memahami arti bid’ah secara bahasa (etimologi) dan
istilah (terminologi/syariat).
Bida’ah Menurut Bahasa (Etimologi):
Yaitu hal baru yang disisipkan pada syariat setelah setelah
ia sempurna. Ibnu As-Sikkit berpendapat bahwa bid’ah adalah segala hal yang
baru. Sementara istilah pelaku bid’ah (baca: mubtadi’) menurut adat terkesan
tercela.
Adapun Abu Adnan berpendapat bahwa bid’ah adalah melakukan
satu perbuatan yang nyaris belum pernah dilakukan oleh siapapun, seperti
perkataan Anda: si fulan berbuat bid’ah dalam perkara ini, artinya ia telah
mendahului untuk melakukan hal itu sebelum orang lain.
Bida’ah Menurut Istilah (Terminologi/Syariat):
Ada dua cara yang ditempuh para ulama untuk mendefinisikan
bid’ah menurut syara’:
Cara yang pertama: cara atau jalan yang dimotori oleh Al Izz
bin Abdussalam (ulama madzhab Syafi’i), dia menganggap bahwa segala hal yang
tidak pernah dilakukan Nabi SAW sebagai bid’ah. Bid’ah ini pun terbagi kepada
hukum yang lima. Berikut perkataan Al Izz:
“Amal perbuataan yang belum pernah ada di zaman Nabi SAW
atau tidak pernah dilakukan di zaman beliau terbagi lima macam;
1.
Bid’ah wajib.
2.
Bid’ah haram
3.
Bidah sunah
4.
Bid’ah makruh
5.
Bid’ah mubah
Adapun untuk mengetahui semua itu adalah menegembalikan
semua perbuatan yang dinggap bid’ah itu di hadapan kaidah-kaidah syariat, jika
ia masuk atau sesuai dengan kaidah atau prinsip wajib maka perbuatan itupun
menjadi wajib (bid’ah wajib), jika ia masuk atau sesuai dengan kaidah atau
prinsip haram maka perbuatan itupun menjadi haram (bid’ah haram), jika ia masuk
atau sesuai dengan kaidah atau prinsip sunah maka perbuatan itupun menjadi
sunah (bid’ah sunah), jika ia masuk atau sesuai dengan kaidah atau prinsip
mubah (boleh) maka perbuatan itupun menjadi mubah (bid’ah mubah). (Lih. Qawa’id
Al Ahkam fi Mashalihil Anam, juz 2. h. 204)
Makna tersebut juga dikatakan oleh Imam An-Nawawi yang
berpendapat bahwa segala perbuatan yang tidak pernah ada di zaman Nabi dinamakan
bid’ah, akan tetapi hal itu ada yang baik dan ada yang kebalikannya/buruk .
(lih. Fathul Bari karya Ibnu Hajar Al Asqalani. Juz 2.h. 394).
Cara kedua yang ditempuh para ulama untuk mendefinisikan
bid’ah adalah: menjadikan pengertian bid’ah menurut syariat lebih khusus dari
pada menurut bahasa. Sehingga istilah bid’ah hanya berlaku untuk suatu perkara
yang tercela saja, dan tidak perlu ada penamaan bid’ah wajib, sunah, mubah dan
seterusnya seperti yang diutarakan oleh Al Izz bin Abdussalam. Cara kedua ini
membatasi istilah bid’ah pada suatu amal yang diharamkan saja. Cara kedua ini
diusung oleh Ibnu Rajab Al Hambali, ia pun memjelaskan bahwa bid’ah adalah
suatu perbuatan yang tidak memiliki dasar syariat yang menguatkannya, adapun
jika suatu perbuatan ini memiliki dasar syariat yang menguatkannya maka tidak
dinamakan bid’ah, sekalipun hal itu bid’ah menurut bahasa. (lih. Jami’ Al Ulum
Wa Al Hikam h. 223)
Sebenarnya kedua cara yang ditempuh para ulama ini sepakat
mengenai hakikat pegertian bid’ah, perbedaan mereka terjadi pada pintu masuk
yang akan mengantarkan pada pengertian yang disepakati ini, yaitu bahwa bid’ah
yang tercela (madzmumah) adalah yang berdosa jika megerjakannya, dimana
perbuatan itu tidak memiliki dasar syar’i yang menguatkannya, inilah makna yang
dimaksud dari sabda Nabi SAW,
كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Seitap
perbuatan bid’ah itu sesat.”
Definisi yang jelas inilah yang dipegang oleh para ulama,
ahli fikih dan imam yang diikuti. Imam Syafi’i —sebagaimana yang diriwayatkan
oleh Al Baihaqi— bahwa beliau berkata, “Perkara baru yang tidak ada di zaman
nabi SAW itu ada dua ketagori, pertama, perkara baru yang bertolak belakang
dengan Al Qur`an, Sunnah, pendapat sahabat atau Ijma, maka itu termasuk bid’ah
yang sesat (bid’ah dhalalah). Kedua, perkara baru yang termasuk baik (hasanah),
tidak bertentangan dengan Al Qur`an, Sunnah, pendapat sahabat atau Ijma, maka
perkara baru ini tidak tercela.” (Riwayat Al Baihaqi. Lih. kitab Manaqib
Asy-Syafi’i, juga oleh Abu Nu’aim dalam kitab Hilyatul Auliya`. 9/113)
Sementara hujjatul Islam, Abu Hamid Al Ghazali berpendapat
bahwa tidak semua perkara baru yang tidak dilakukan di zaman nabi SAW itu
dilarang, akan tetapi yang dilarang adalah perkara bid’ah yang bertolak
belakang dengan Sunnah dan menghilangkan apa yang sudah ditetapkan syari’at.
(Lih.Ihya` Ulumuddin, juz 2, h. 248)
Imam An-Nawawi telah menukil dari Sulthanul ulama, Imam
Izzuddin bin Abdussalam, dia berkata di akhir kitab Qawa’id Al Ahkam
(kaidah-kaidah hukum), “Bid’ah itu tebagi kepada wajib, sunah, mubah, haram dan
makruh…” di kesempatan lain, dalam pembicaraan tentang hukum bersalaman usai
shalat, dia juga berkata, “Ketahuilah bahwa bersalaman ini disunahkan pada
setiap pertemuan, adapun orang-orang membiasakan bersalaman pada setiap kali
usai shalat maka ini tidak ada dasarnya sama sekali, akan tetapi hal itu tidak
mengapa dilakukan, karena dasar bersalaman itu adalah Sunnah. Adapun mereka
yang membiasakannya pada kondisi tertentu seperti usai shalat maka hal ini
tidak keluar dari keberadaan bersalaman yang disinggung oleh dasar syariat
(Sunnah). (lih. An-Nanawi dalam Al Adzkar)
Adapun Ibnu Al Atsir berkata, “Bid’ah itu ada dua macam,
bid’ah huda (yang berpetunjuk) dan bid’ah dhalal (sesat), jika perkaranya
bertolak belakang dengan apa yang diperintahkan Rasulullah SAW maka itu
termasuk tercela dan dikecam. Jika perkara itu termasuk yang disunahkan dan
dianjurkan maka perkara itu terpuji… dia pun menambahkan: bid’ah yang baik pada
dasarnya adalah sunah. Karena itu hadits Nabi SAW, “Bahwa setiap perkara baru
itu bid’ah.” Dipahami jika perkara baru itu bertentangan dengan dasar-dasar
syariat dan bertolak belakang dengan Sunnah.” (lih. An-Nihayah, karangan Ibnu
Al Atsir juz 1. h. 80)
Ibnu Al Manzhur juga memiliki pendapat yang bagus mengenai
definisi bid’ah secara istilah syar’i, menurutnya: Bid’ah itu ada dua macam,
bid’ah berpetunjuk (huda) dan bid’ah yang sesat (dhalal). Jika perkara itu
bertolak belakang dengan perintah Allah dan Rasul-Nya maka itu termasuk tercela
dan dikecam. Adapun jika perkaranya termasuk atau sesuai dengan apa yang
dianjurkan Allah dan Rasul-Nya maka itu termasuk perkara terpuji. Adapun
perkara yang tidak ada contohnya di zaman nabi SAW seperti macam-macam jenis
kebaikan dan kedermawanan serta perbuatan baik lainnya maka itu termasuk
perbuatan yang terpuji (seperti bersedekah dengan pulsa, voucher, mengucapkan
selamat via email dan SMS atau MMS, mengaji via telepon, dan lain sebagainya.
Red).”
Perkara baru ini tidak boleh bertentangan dengan dasar-dasar
syariat, karena Nabi SAW telah menilai perbuatan ini (yang sesuai dengan
dasar-dasar syari’at) berhak mendapatkan pahala: beliau bersabda, “Siapa yang
memulai perbuatan baik maka ia mendapatkan pahalanya dan pahala orang yang
mengamalkannya.” Pada perbuatan kebalikannya beliau bersabda pula, “Siapa yang
memulai suatu kebiasaan buruk, maka dia mendapatkan dosanya, dan dosa orang
yang mengamalkannya.” Hal itu terjadi jika perbuatannya bertentangan dengan
perintah Allah dan Rasul-Nya.
Begitupula dengan yang dikatakan Umar, “Ini (shalat Tarawih
berjama’ah) bid’ah yang baik”. Jika perbuatan itu termasuk katagori kebaikan
dan terpuji maka dinamakannya dengan bid’ah yang baik dan terpuji, karena Nabi
SAW tidak menyunahkan shalat Tarawih secara berjamaah kepada mereka, Rasulullah
hanya melakukannya beberapa hari lalu meninggalkannya dan tidak lagi
mengumpulkan jamaah untuk melakukan shalat Tarawih. Praktik shalat Tarawih
berjamaah ini juga tidak dilakukan pada masa Abu Bakar. Namun hal itu dipraktikkan
di masa Umar bin Al Khaththab, belia menganjurkannya serta membiasakannya,
sehingga Umar menamakannya dengan bid’ah pula, namun pada hakikatnya praktik
tersebut adalah sunah, berdasarkan sabda Nabi SAW, “Ikutilah Sunnahku, dan
sunah khulafa rasyidun setelahku.” Juga sabda beliau lainnya, “Ikuti
orang-orang setelahku, yaitu Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali…” Adapun hadits
nabi SAW, “Setiap perkara baru adalah bid’ah” dipahami jika perkara itu
bertolak belakang dengan dasar-dasar syariat dan tidak sesuai dengan Sunnah.
(lih. Lisan Al ‘Arab juz 8. h. 6)
Sikap Para Ulama terhadap Definisi Bid’ah:
Jumhur ulama (mayoritas ulama) berpendapat bahwa bid’ah
terbagi beberapa macam, hal ini nampak pada pendapat imam Syafi’i dan para
pengikutnya seperti, Al Izzu bin Abdussalam, An-Nawawi dan Abu Syamah. Dari
Madzhab Maliki seperti, Al Qarafi dan Az-Zarqani. Dari Madzhab Hanafi, seperti
Ibnu Abidin. Dari Madzhab Hambali, seperti Ibnu Al Jauzi. Dari madzhab
Zhahiriyah, seperti Ibnu Hazm.
Semua ini tercermin dalam definisi yang diberikan Al Izz bin
Abdussalam mengenai bid’ah, yaitu perbuatan atau amal yang tidak pernah ada di
zaman Nabi SAW, dan hal ini tebagi pada bid’ah wajib, sunah, haram, makruh dan
mubah.
Para ulama ini memberikan contoh-contoh mengenai pembagian
bid’ah ini:
a.
Bid’ah wajib: seperti mempelajari ilmu nahwu dan sharaf
(gramatika bahasa Arab) yang dengannya dapat memahami kalam Ilahi dan sabda
Rasulullah. Ini termasuk bid’ah wajib, karena ilmu ini berfungsi untuk menjaga
kemurnian syariat, sebagaimana dijelaskan dalam kaidah fikih,
مَا لاَيَتِمُّ الوَاجِبُ إِلاَّ بِهِ
فَهُوَ وَاجِبٌ
“Sesuatu yang tanpanya kewajiban tidak akan berjalan
sempurna maka sesuatu itu pun menjadi wajib hukumnya.”
b.
Bid’ah haram: seperti pemikiran sekte Al Qadariyah, sekte Al
Jabariyah, sekte Al Murji`ah dan sekte Al Khawarij, paham bahwa Al Qur`an
adalah produk budaya, dan paham bahwa zamant ini masih jahiliyah shingga
hukum-hukum Islam belum bisa diterapkan, dan lain sebagainya.
c.
Bid’ah sunah: seperti merenovasi sekolah, membangun
jembatan, shalat tarawih secara bejamaah dengan satu imam, dan adzan dua kali
pada shalat Jum’at.
d.
Bid’ah makruh: seperti menghiasi atau memperindah Masjid dan
Kitab Al Qur`an.
e.
Bid’ah mubah: seperti, bersalaman usai shalat jamaah,
tahlil, memperingati Maulid Nabi SAW, berdoa dan membaca Al Qur`an di kuburan,
dzikir secara berjamaah dengan dipimpin imam usai shalat, dzikir dengan suara
keras secara berjamaah, dan keanekaragaman bentuk pakaian dan makanan.
Mengenai bid’ah mubah ini diperlukan sikap toleransi yang
tinggi di kalangan umat Islam untuk menjaga persatuan dan persaudaraan yang
hukumnya wajib, artinya siapa saja boleh melakukan dan meninggalkannya, jangan
sampai ada pemaksaan sedikitpun dalam melakukannya apalagi saling merasa benar
atau menyalahkan kelompok lainnya.
Adaun dalil yang menjadi dasar pembagian bid’ah ini menjadi
lima adalah:
1.
Perkataan Umar tentang shalat tarawih berjamaah di masjid
pada bulan Ramadhan dengan mengatakan, ni’matil bid’atu hadzihi (ini
sebaik-baik bid’ah).
Diriwayatkan dari Abdurrahaman bin Abdul Qari, dia berkata:
aku keluar rumah bersama Umar bin Khaththab pada malam bulan Ramadhan menuju
masjid. Kami menyaksikan orang-orang terbagi-bagi, masing masing melakukan
shalat sendirian. Kemudian Umar berkata, “Aku berpandangan andai saja aku bisa
mengumpulkan mereka pada satu imam maka ini lebih baik dan ideal.” Beliaupun
bertekad mengumpulkan mereka dengan imamnya Ubai bin Ka’ab. Kemudian aku keluar
ke masjid pada hari berikutnya bersama beliau, kamipun melihat orang-orang
sedang shalat dibelakang satu imam. Umar lalu berkata, “Ni’matil bid’atu
hadzihi (inilah sebaik-baik bid’ah). Adapun melakukannya di akhir malam maka
itu lebih afdhal daripada melakukannya di awal malam.” (HR. Bukhari)
2.
Abdullah bin Umar menilai shalat Dhuha yang dilakukan secara
berjamaah di masjid adalah bid’ah, padahal itu merupakan perkara baik.
Diriwayatkan dari Mujahid, dia berkata: aku dan Urwah bin
Zubair masuk masjid, ternyata ada Abdullah bin Umar sedang duduk di samping
serambi rumah Aisyah, lalu ada sekelompok orang melakukan shalat Dhuha secara
berjamaah, kamipun menanyakan hukum shalat mereka ini kepadanya, diapun
menjawab, “Bid’ah”. (HR. Bukhari dan Muslim)
3.
Hadits-hadits yang menunjukkan pembagian bid’ah menjadi
bid’ah baik dan buruk diantaranya adalah yang diriwayatkan secara marfu’
(shahih dan sampai pada nabi SAW):
“Siapa yang memulai suatu perbuatan baik maka ia akan
mendapatkan pahalanya, dan pahala dari orang yang mengikutinya sampai hari
kiamat. Siapa yang memulai suatu perbuatan buruk maka ia akan mendapatkan
dosanya dan dosa dari orang yang mengikutinya sampai hari kiamat.” (HR. Muslim)
Dari apa yang disampaikan dapat kita simpulkan bahwa
mengenai bid’ah ini ada dua pandangan para ulama: pertama, seperti yang
dikemukan oleh Ibnu Rajab Al Hambali dan selainnya, bahwa semua perbuatan yang
diberi pahala dan disyariatkan melakukannya tidak dinamakan bid’ah, sekalipun
hal itu pantas dinamakan bid’ah dari segi bahasa, yaitu perbuatan baru yang
belum pernah ada yang melakukannya, akan tetapi penamaan bid’ah terhadap
perbuatan ini tidak dimaksudkan sebagai bid’ah yang tercela apalagi sesat.
Kedua, pandangan perincian macam-macam bid’ah seperti yang
dikemukakan oleh Al Izz bin Abdissalam sebagaimana yang telah kami paparkan
sebelumnya.
Sementara sikap kita sebagai muslim terhadap masalah yang
cukup penting ini yang mempengaruhi pemikiran Islam, masalah-masalah fikih,
juga pandangan atau sikap kita terhadap saudara-saudara semuslim kita lainnya,
sehingga janganlah dengan mudah kita mengklaim mereka yang melakukan bid’ah
hasanah (yang baik) itu sebagai pelaku bid’ah yang sesat dan fasiq (wal ‘iyadzu
billah/kita memohon perlindungan kepada Allah dari hal itu), hal ini terjadi
karena ketidaktahuan dengan prinsip-prinsip atau kaidah-kaidah yang telah jelas
tersebut, sehingga masalah inipun menjadi samar dan aneh di kalangan umat
Islam. Wallahu a’lam
Langganan:
Postingan (Atom)